Selasa, 13 November 2012

Drupadi: Ada Apa Dengan Drupadi?

Perempuan super cantik titisan Dewi Api ini adalah istri dari 5 orang Pandawa, tokoh protagonis dalam kisah Mahabharata. Dalam versi India penggalan kisah Mahabharata, Ibunda Pandawa, Dewi Kunti, bersabda bahwa apa pun yang dimiliki oleh salah seorang dari Pandawa menjadi milik mereka berlima, termasuk istri. (Dalam versi Jawa –karena pengaruh Islam– Drupadi menjadi monogamis dan bersuami hanya Yudhistira seorang). Karena kelima Pandawa itu adalah anak-anak yang patuh pada ibu mereka, maka Drupadi harus dibagi di antara anak raja yang tampan dan gagah itu. 


Kisahnya berawal ketika Drupadi dijadikan objek sayembara oleh ayahnya, Drupada. Dalam lomba ketangkasan memanah, nyaris saja ia dipersunting oleh Karna, seorang lelaki gagah anak sais kereta. Namun Drupadi, sang putri raja, tak rela beristri orang dari kelas bawah, sekalipun sebenarnya Karna yang tampan itu adalah anak Dewi Kunti yang lain yang disembunyikan lantaran merupakan hasil dari hubungan gelap. Drupadi yang tak mau menjadi istri orang miskin ini, menghalangi Karna meneruskan lomba panah. Kemudian majulah Arjuna yang berhasil memenangkan perlombaan. Jadilah Drupadi harus bersuami 5 laki-laki tampan Putra Pandu itu. 

Sampai sini, maka ”malang” mungkin bukan kata sifat yang tepat untuk menggambarkan nasib Drupadi. Ia hidup berpoliandri bersama lima lekaki tampan dan kaya. Kelima suaminya rela berbagi dan punya pengertian luar biasa terhadapnya. Ia boleh pilih kasih tanpa menyinggung perasaan suaminya yang lain. Sebuah dunia poliandri ideal yang bahkan lebih idyllic ketimbang dunia bigini Ayat-ayat Cinta. Apakah film Drupadi ini sedang mengajukan sebuah perayaan terhadap poliandri sekaligus meledek gagasan poligini?
Lantas, sedihkah Drupadi menjadi objek (mungkin tepatnya subjek) poliandri? Ia tak melonjak-lonjak kegirangan sekalipun kelima suaminya yang tampan itu ia absen satu demi satu sambil menyebutkan kelebihan-kelebihan mereka. Bahkan ia tak punya dilema internal semisal Fahri dalam Ayat-ayat Cinta. Inikah ide pembelaan perempuan yang dinyatakan oleh Dian Sastro – produser sekaligus pemeran Drupadi – agar “jangan sampai perempuan mengalami seperti ini” yang ia nyatakan dalam behind the scene film ini? Tentu imbauan semacam ini tak akan laku karena perempuan mana yang tak ingin menjadi suami dari lelaki macam Dwi Sasono, Ario Bayu, dan Nicolas Saputra sekaligus dengan bonus dua orang kembar tampan Aditya Bagus Sambada dan Aditya Bagus Santosa? 

Yang dimaksudkan oleh Dian Sastro agar “jangan sampai perempuan mengalami hal seperti ini” adalah menjadi seperti barang yang dipertaruhkan di permainan dadu. Tunggu sebentar. Bukankah Pandawa lainnya juga dipertaruhkan dalam permainan dadu itu? Jadi, nasib Drupadi sebagai perempuan dalam soal jadi taruhan permainan dadu tak istimewa. Lagipula, jangan lupa bahwa Drupadi juga sempat menjadi semacam objek pertaruhan dalam sayembara mencari calon suami yang diselenggarakan ayahnya. Maka menjadi objek taruhan bukan hal yang istimewa bagi perempuan Drupadi ini.
Yang istimewa bagi perempuan bernama Drupadi adalah bahwa ia kemudian diseret dari tempat nyamannya, dijambak rambutnya hingga sanggulnya terlepas, dan kemudian dibawa ke balairung tempat judi itu berlangsung dan akan ditelanjangi ketika orang yang mempertaruhkannya kalah. Kemarahan Drupadi bukanlah karena ia “menjadi komoditas” seperti yang dikatakan oleh Dian Sastro, melainkan karena perlakuan kasar yang menimpanya. Ia protes terhadap perlakuan kasar itu, bukan pada suaminya yang sudah berbuat bodoh. 

Bisa jadi memang ada semacam pijakan bagi kemarahan Drupadi terhadap kekasaran yang menimpanya ini, tetapi moral dasar yang sedang diajarkan oleh penggalan kisah Mahabharata itu bukanlah tentang ‘menjadi komoditi’ atau ‘perlakuan kasar terhadap perempuan’. Pelajaran dasar penggalan kisah permainan dadu ini adalah tentang seorang, namanya Yudhistira, yang tak mampu menghadapi kelemahan dirinya yang paling mendasar –sekalipun ia adalah titisan Brahma, sang maha bijaksana. Maka segala penghinaan terhadap dirinya, saudara-saudaranya, istrinya, hilangnya seluruh harta, kehormatan dan akhirnya mereka hidup menggelandang 12 tahun di hutan adalah harga yang harus dibayar untuk semacam kebodohan itu. 

Celakanya, Drupadi versi film pendek ini mempertahankan cerita itu beserta pelajaran moralnya dan tak melakukan perubahan signifikan terhadapnya, kecuali absensi terhadap para suami tadi. Kisah selanjutnya tetap merupakan eksplorasi terhadap kebodohan dan hawa nafsu Yudhistira dalam bermain dadu yang mengambil sebagian besar porsi film. 

Maka ‘pembelaan perempuan’ dalam Drupadi menjadi wagu. Perspektif perempuan yang muncul dalam film ini tidak memperlihatkan posisi perempuan yang sulit, sekaligus tak punya arah pembelaan yang absah. Pertama, perempuan di sini menjalani impian hidup berpoliandri bersama lima orang tampan sekaligus. Kalau pun hal ini ingin dikeluhkan, bentuknya akan mirip-mirip saja dengan keluhan tokoh Fahri dalam Ayat-ayat Cinta yang bingung harus lebih mencintai yang mana dari pasangan yang cantik dan kaya itu.
Apakah film Drupadi memang sedang merayakan ide poliandri? Rasanya bukan ide itu karena toh Drupadi menolak menjadi milik 100 orang Kurawa karena mereka kasar dan angkara murka. Bukan ide poliandri semata yang dirayakan Drupadi, tapi ide poliandri yang ideal

Kedua, film ini menyajikan tokoh Drupadi yang bisa menjalani kehidupan ideal sebagai buah dari sikap tidak fair tanpa ingin disalahkan secara moral. Ia tak fair dengan menghalangi kesempatan Karna karena Karna miskin, tapi narator film ini sama sekali tak memberi komentar. Bandingkan dengan komentar berkali-kali terhadap kecurangan Sengkuni (yang tak disajikan buktinya di layar). 

Bahkan ketika Karna membalas sakit hatinya atas sikap diskrminatif Drupadi (sebuah sakit hati yang rasanya wajar) itu dengan kata-kata, film ini tetap memperlihatkan Karna sebagai tokoh jahat. Sedangkan Bima yang merobek mulut Sengkuni dan Drupadi yang mencuci rambutnya dengan darah Dursasana, tetap menjadi pahlawan setelah membalaskan sakit hati yang mirip dengan sakit hati Karna. Sebuah pameran besar-besaran untuk sikap standar ganda. Memang standar ganda ini sudah sejak awal ada dalam Mahabharata, tapi apakah ini yang memang sedang ingin digambarkan oleh film pendek Drupadi ini? 

Ketiga, meletakkan persoalan perempuan (perlakuan kasar terhadap perempuan) sebagai persoalan terpisah dari persoalan kemanusiaan (perbudakan) yang lebih luas. Tentu saja sebagai perempuan, Drupai mendapat perlakuan kasar dan semena-mena, dan siapa mau diperlakukan seperti itu? Namun, Drupadi tak pernah mempertanyakan perilaku suaminya secara umum. Ia hanya mempersoalkan perilaku suaminya yang berdampak padanya. Ingat protesnya kepada tiga tetua, Destarata, Bisma dan Dorna, yang hadir di balairung pada saat perjudian, “kenapa orang yang sudah tak bebas boleh mempertaruhkan orang bebas?”
Protes ini hanya tertuju pada tindakan Yudhistira yang berimplikasi padanya, bukan pada tindakan Yudhistira secara keseluruhan. Ia mengeluh karena nasib buruk menimpa padanya, bukan sedang mempersoalkan hilangnya kehormatan suami-suaminya. Ia mengeluh, bukan melawan. Lagi-lagi: inikah yang memang ingin dinyatakan oleh film Drupadi

Kesetiaan tak perlu terhadap cerita asli penggalan kisah Mahabharata ini sebenarnya sama sekali bukan persoalan ketika tak diaku sebagai alat pembela perjuangan perempuan. Namun para pembuat film ini seakan tak waspada terhadap berbagai pesan moral lain yang turut terbaca bersama plot film ini. Kematangan dalam mengadaptasi naskah besar ini tampaknya memang absen. Kritkus film Leila S. Chudori yang menulis naskahnya masih berkutat dengan menceritakan ulang kisah aslinya dan tak berani menafsir ulang untuk membawa gagasannya sendiri. Padahal, apa yang menghalanginya? 

Maka sejak skenario, Drupadi sudah bermasalah. Materi cerita yang dibawa film ini sama sekali tak cocok sebagai materi film pendek. “Pendek” dalam film pendek Drupadi ini hanya berarti durasi dan sama sekali bukan sebuah format tersendiri, lantaran seluruh gagasan Mahabharata coba dipadatkan oleh film ini. Lantas, “ajaran moral” yang dibawa kisah ini tidak digeser. Lihat misalnya pada karakterisasi Kurawa dan Pandawa yang menegaskan pendekatan yang dipenuhi stereotype yang memang dibutuhkan dalam epik sekaligus kitab suci seperti Mahabharata yang mengajarkan moral dasar kebaikan dan kejahatan, tapi terasa ganjil untuk mengomentari keadaan kontemporer. 

Film ini tak keberatan sama sekali dengan segala stereotype dan nyaman sekali menempatkan poetic justice sebagai nilai yang diusungnya. Riri Riza masih menempatkan moralitas hitam putih yang biasanya digunakan untuk cerita anak-anak (yang bahkan oleh penulis macam Maurice Sendak atau Dr. Seuss saja sudah tak dipakai). Perhatikan bahwa para tokoh Pandawa itu begitu tampan dengan tutur kata terjaga dan bahasa tubuh minimum dan terkendali, sementara tokoh Kurawa dicirikan dengan buruk rupa (dengan segenap maaf kepada Mas Whani Darmawan dan Mas Djarot dan kawan-kawan), tertawa-tawa dan berteriak serta menari dengan gerakan lebar dan ekspresif. 

Mau tak mau, karakterisasi macam ini akhirnya terbandingkan dengan adaptasi tokoh Rahwana menjadi Ludiro pada Opera Jawa-nya Garin Nugroho. Rahwana yang dalam epik Ramayana adalah tokoh super jahat berkepala sepuluh dan mencungkil sisa makanan dengan keris pusaka, dalam adaptasi itu berubah menjadi Ludiro, sesosok manusia yang lemah dan sambil menangis ingin kembali ke rahim sang ibu ketika kain merah lambang kejayaannya dikoyak-koyak oleh Rama/Seta. Mau tak mau –dengan sangat menyesal– memandang karakterisasi Drupadi dan Opera Jawa akhirnya terpampang juga perbandingan antara sebuah proses adaptasi yang tak memahami esensi dengan adaptasi yang dewasa dan penuh perhitungan.
Stereotype yang hadir dalam Drupadi ini memang cocok sebagai adonan pembuat poetic justice di ujung cerita. Padahal poetic justice, seperti kata penulis Orhan Pamuk, berpeluang besar membuat buruk sebuah cerita. Bahkan, kata Orhan sambil bercanda, poetic justice membuat ia diserang sekelompok anjing yang mungkin pernah membaca bukunya dan dendam karena karakterisasi mereka di bukunya itu. Poetic justice bukan cuma berakibat buruk terhadap narasi, mungkin bahkan terhadap hidup kita, kata Pamuk lagi. Ia hanya baik bagi sebuah ajaran moral dasar yang tak memberi dimensi persoalan. Maaf untuk mengulang-ulang pertanyaan ini: apakah ini yang memang sedang dipromosikan oleh Drupadi?
Pertanyaan berulang-ulang soal “niat” Drupadi harus terjadi, lantaran saratnya film ini sebagai sebuah film dengan tiga dimensi pernyataan. Pertama, ia adalah penyataan politik pembelaan terhadap perempuan. Kedua, film ini bisa dibilang sebuah sikap estetik dari pembuatnya, termasuk sutradara Riri Riza, yang tampak ingin mengeksplorasi bentuk yang belum pernah ia tangani sebelumnya dengan risiko karya ini akan dibandingkan dengan karya Garin Nugroho, Opera Jawa, yang sama-sama menggunakan unsur tari dan lagu Jawa yang masif sepanjang film.
Ketiga, dengan format film pendek yang tak punya jalur distribusi di Indonesia, Drupadi tampak menyasar festival internasional dan berniat menjadi “lokomotif bagi industri kreatif” terutama jadi etalase bagi musik hibrida milik Djaduk Ferianto dan rancangan busana Chitra Subiyakto. Film ini terlihat seperti ingin menjadi “duta besar” tak resmi bagi karya adiluhung yang dimuat dalam sinema Indonesia karena tak ada hitung-hitungan komersial apapun yang masuk akal yang bisa menjelaskan bagaimana ongkos produksi yang besar itu bakal bisa balik modal. 

Niatan sinematik dan nonsinematik itu terbaca jelas dan akhirnya membentuk penilaian terhadap film ini secara keseluruhan. Pernyataan politik pembelaan perempuan yang dibawa Drupadi, alih-alih tepat sasaran, malahan memperlihatkan sebuah sikap ketidakmatangan dalam berkarya dan luputnya kemampuan menangkap esensi sebuah karya besar. 

Adakah sikap estetik yang pantas dipajang oleh Drupadi? Sayang sekali bahwa Opera Jawa sudah menetapkan semacam benchmark yang bagi saya pribadi bahkan berpeluang memberi sumbangan bagi sejarah sinema dunia. Maka melihat Drupadi dengan estetika semacam ini seakan seperti melihat pengikut Garin Nugroho yang berhasil mendapat dana produksi lebih besar tapi gagal mengikuti ajaran paling esensial dari sang guru. 

Semangat untuk mengeksplorasi bentuk sinema dan bermain-main mencari cara ucap yang genuine pada Opera Jawa berubah jadi seni menata etalase pada Drupadi. Segala keindahan yang ditampilkan dalam film ini seperti sebuah pajangan indah berkilauan tapi tak punya daya tarik asali. Terlihat sekali bahwa sang pengarah film ini tak punya gambaran film ini seharusnya dibuat seperti apa.
Hal itu juga tampak sekali pada departemen akting yang tercerai berai. Ada akting yang mendekati gaya wayang orang dari Dwi Sasono, ada gaya Dian Sastro yang tetap terkesan sebagai anak urban, ada yang kebingungan harus bergaya apa seperti Ario Bayu, ada akting yang sangat terukur dari Whani Darmawan, dan ada pengulangan akting gaya monolog dengan wajah yang dirancang untuk dapat close-up dari Butet Kertaredjasa. Seni peran yang berjalan ke arah berlain-lainan ini adalah buah dari ketidakmengertian sutradara dari apa esensi film ini. 

Jika ada keberhasilan, maka sebagai etalase, film ini berhasil dengan baik mengantar pameran busana Chitra Subiyakto. Rancangan busana adiluhung Chitra, terutama yang dipakai oleh Dian, memang menjadi sebuah pameran tersendiri. Komposisi gambar dan detil tata artistik sangat menarik, tapi rasanya framing film ini secara keseluruhan lebih mirip dengan framing untuk TV ketimbang layar lebar, terutama dengan penekanan pada syut middle to close yang tak berisiko. 

Maka pertanyaan besar buat Riri Riza dan Mira Lesmana: mengapa membuat film seperti ini? Percayakah mereka pada subjek film mereka ini? Sayang sekali bahwa pertanyaan-pertanyaan macam ini harus diajukan kepada Riri dan Mira, pasangan yang telah menghasilkan Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta?, Eliana-Eliana, dan tentu saja, Laskar Pelangi.***

0 komentar:

Posting Komentar