Rabu, 14 November 2012
Rectoverso: The Film
Aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu aku gapai sebatas punggungnya saja.
Selasa, 13 November 2012
W. R. Supratman
Wage Rudolf Supratman (9 Maret[1]
1903, Jatinegara, Jakarta - 17 Agustus 1938, Surabaya) adalah pengarang
lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya". Ayahnya bernama Senen,
sersan di Batalyon VIII. Saudara Soepratman berjumlah enam, laki satu,
lainnya perempuan. Salah satunya bernama Roekijem. Pada tahun 1914,
Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan
dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama 3 tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Ujungpandang, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Singkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem, sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik
W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak mempunyai anak angkat.
Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan kodisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan.
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM jalan Embong Malang - Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok-Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
Naskah asli lagu Indonesia Raya
Hari
kelahiran Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati saat menjadi presiden RI,
diresmikan sebagai Hari Musik Nasional. Namun tanggal kelahiran ini
sebenarnya masih diperdebatkan, karena ada pendapat yang menyatakan
Soepratman dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang,
Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Pendapat ini – selain didukung keluarga Soepratman – dikuatkan keputusan
Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.
Biografi Abu Nawas
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Abu Nawas merupakan seorang pujangga Arab dan dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benarpenuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
Biografi Soe Hok Gie ( 1942-1969)
Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.
Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.
Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?
Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.
Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.
Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.
Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.
Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.
Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
24
Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari
kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali
Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi,
namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia
meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung.
Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan
abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda“ Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.
Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda“ Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.
John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar
belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan
diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan
bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak
tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang
dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira
Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah
membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu
terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.
Kata Kata Soe Hok Gie
- Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
- Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
- Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
- Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
- Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
- Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
- Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
- Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
- Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
- Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…
- Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
- Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
- Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
- To be a human is to be destroyed.
- Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
- Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
- I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.
- Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
- Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
- Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.
- Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Sinopsis Film BATAS (2011)
Produser Marcella Zalianty
Sutradara Rudi Soedjarwo
Penulis Slamet Rahardjo Djarot, Lintang Sugianto
Pemeran Marcella Zalianty, Arifin Putra, Piet Pagau, Jajang C Noer, Ardina Rasti, Otiq Pakis, Norman Akyuwen, Marcell Domits, Alifyandra
Tanggal edar Kamis, 19 Mei 2011
Warna Warna
Sinopsis
Jaleshwari, dengan ambisi dan kepercayaan penuh, mengajukan diri untuk mengambil tanggung-jawab memperbaiki kinerja program corporate social responsibility (CSR)
bidang pendidikan yang terputus tanpa kejelasan.Dia menyanggupi masuk
ke daerah perbatasan di pedalaman Kalimantan dan menjanjikan dalam dua
minggu ketidakjelasan itu dapat diatasi.
Ternyata perbatasan di pedalaman Kalimantan memiliki pola kehidupannya sendiri.Mereka memiliki titik-pandang berbeda dalam memaknai arti garis perbatasan.Mereka hidup dengan kesadaran wawasan budaya Dayak yang tidak terpisahkan oleh batas politik. Keadan ini membawa Jaleshwari ke dalam situasi pelik.Konflik batin terjadi ketika dia terperangkap pada masalah kemanusiaan yang jauh lebih menarik.
Jaleshwari berada dalam tapal batas pilihan.Karisma hutan dan pola hidup masyarakat menyadarkan dirinya bahwa upaya memperbaiki kehidupan masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan adat setempat. Jaleshwari sangat memahami Adeus, guru yang dipercaya menjalankan program pendidikan, menjadi apatis, karena sistem pendidikan yang diinginkan perusahaan di Jakarta, tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Mereka lebih memilih jadi tenaga kerja yang dijanjikan jadi kaya oleh penjual jasa bernama Otik. Salah satu korbannya adalah Ubuh, TKI yang melarikan diri dari negeri tetangga.Oleh masyarakat Dayak di sana,Ubuh tak hanya beroleh perlindungan namun juga kehangatan dan keramahan.
Tragedi kemanusiaan ini mengubah pemikiran Jaleshwari. Panglima Adayak, kepala suku, menuntunnya memahami "Bahasa Hutan". Langkah Jaleshwari sangat membantu Arif, petugas negara yang dalam penyamaran dan ditugaskan di wilayah perbatasan.
Ternyata perbatasan di pedalaman Kalimantan memiliki pola kehidupannya sendiri.Mereka memiliki titik-pandang berbeda dalam memaknai arti garis perbatasan.Mereka hidup dengan kesadaran wawasan budaya Dayak yang tidak terpisahkan oleh batas politik. Keadan ini membawa Jaleshwari ke dalam situasi pelik.Konflik batin terjadi ketika dia terperangkap pada masalah kemanusiaan yang jauh lebih menarik.
Jaleshwari berada dalam tapal batas pilihan.Karisma hutan dan pola hidup masyarakat menyadarkan dirinya bahwa upaya memperbaiki kehidupan masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan adat setempat. Jaleshwari sangat memahami Adeus, guru yang dipercaya menjalankan program pendidikan, menjadi apatis, karena sistem pendidikan yang diinginkan perusahaan di Jakarta, tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Mereka lebih memilih jadi tenaga kerja yang dijanjikan jadi kaya oleh penjual jasa bernama Otik. Salah satu korbannya adalah Ubuh, TKI yang melarikan diri dari negeri tetangga.Oleh masyarakat Dayak di sana,Ubuh tak hanya beroleh perlindungan namun juga kehangatan dan keramahan.
Tragedi kemanusiaan ini mengubah pemikiran Jaleshwari. Panglima Adayak, kepala suku, menuntunnya memahami "Bahasa Hutan". Langkah Jaleshwari sangat membantu Arif, petugas negara yang dalam penyamaran dan ditugaskan di wilayah perbatasan.
Drupadi: Ada Apa Dengan Drupadi?
Perempuan super cantik titisan Dewi Api ini adalah istri dari 5 orang Pandawa, tokoh protagonis dalam kisah Mahabharata.
Dalam versi India penggalan kisah Mahabharata, Ibunda Pandawa, Dewi
Kunti, bersabda bahwa apa pun yang dimiliki oleh salah seorang dari
Pandawa menjadi milik mereka berlima, termasuk istri. (Dalam versi Jawa
–karena pengaruh Islam– Drupadi menjadi monogamis dan bersuami hanya
Yudhistira seorang). Karena kelima Pandawa itu adalah anak-anak yang
patuh pada ibu mereka, maka Drupadi harus dibagi di antara anak raja
yang tampan dan gagah itu.
Kisahnya berawal ketika Drupadi dijadikan objek
sayembara oleh ayahnya, Drupada. Dalam lomba ketangkasan memanah, nyaris
saja ia dipersunting oleh Karna, seorang lelaki gagah anak sais kereta.
Namun Drupadi, sang putri raja, tak rela beristri orang dari kelas
bawah, sekalipun sebenarnya Karna yang tampan itu adalah anak Dewi Kunti
yang lain yang disembunyikan lantaran merupakan hasil dari hubungan
gelap. Drupadi yang tak mau menjadi istri orang miskin ini, menghalangi
Karna meneruskan lomba panah. Kemudian majulah Arjuna yang berhasil
memenangkan perlombaan. Jadilah Drupadi harus bersuami 5 laki-laki
tampan Putra Pandu itu.
Sampai sini, maka ”malang” mungkin bukan kata
sifat yang tepat untuk menggambarkan nasib Drupadi. Ia hidup
berpoliandri bersama lima lekaki tampan dan kaya. Kelima suaminya rela
berbagi dan punya pengertian luar biasa terhadapnya. Ia boleh pilih
kasih tanpa menyinggung perasaan suaminya yang lain. Sebuah dunia
poliandri ideal yang bahkan lebih idyllic ketimbang dunia bigini Ayat-ayat Cinta. Apakah film Drupadi ini sedang mengajukan sebuah perayaan terhadap poliandri sekaligus meledek gagasan poligini?
Lantas, sedihkah Drupadi menjadi objek (mungkin
tepatnya subjek) poliandri? Ia tak melonjak-lonjak kegirangan sekalipun
kelima suaminya yang tampan itu ia absen satu demi satu sambil
menyebutkan kelebihan-kelebihan mereka. Bahkan ia tak punya dilema
internal semisal Fahri dalam Ayat-ayat Cinta. Inikah ide
pembelaan perempuan yang dinyatakan oleh Dian Sastro – produser
sekaligus pemeran Drupadi – agar “jangan sampai perempuan mengalami
seperti ini” yang ia nyatakan dalam behind the scene film ini?
Tentu imbauan semacam ini tak akan laku karena perempuan mana yang tak
ingin menjadi suami dari lelaki macam Dwi Sasono, Ario Bayu, dan Nicolas
Saputra sekaligus dengan bonus dua orang kembar tampan Aditya Bagus
Sambada dan Aditya Bagus Santosa?
Yang dimaksudkan oleh Dian Sastro agar “jangan
sampai perempuan mengalami hal seperti ini” adalah menjadi seperti
barang yang dipertaruhkan di permainan dadu. Tunggu sebentar. Bukankah
Pandawa lainnya juga dipertaruhkan dalam permainan dadu itu? Jadi, nasib
Drupadi sebagai perempuan dalam soal jadi taruhan permainan dadu tak
istimewa. Lagipula, jangan lupa bahwa Drupadi juga sempat menjadi
semacam objek pertaruhan dalam sayembara mencari calon suami yang
diselenggarakan ayahnya. Maka menjadi objek taruhan bukan hal yang
istimewa bagi perempuan Drupadi ini.
Yang istimewa bagi perempuan bernama Drupadi
adalah bahwa ia kemudian diseret dari tempat nyamannya, dijambak
rambutnya hingga sanggulnya terlepas, dan kemudian dibawa ke balairung
tempat judi itu berlangsung dan akan ditelanjangi ketika orang yang
mempertaruhkannya kalah. Kemarahan Drupadi bukanlah karena ia “menjadi
komoditas” seperti yang dikatakan oleh Dian Sastro, melainkan karena
perlakuan kasar yang menimpanya. Ia protes terhadap perlakuan kasar itu,
bukan pada suaminya yang sudah berbuat bodoh.
Bisa jadi memang ada semacam pijakan bagi
kemarahan Drupadi terhadap kekasaran yang menimpanya ini, tetapi moral
dasar yang sedang diajarkan oleh penggalan kisah Mahabharata
itu bukanlah tentang ‘menjadi komoditi’ atau ‘perlakuan kasar terhadap
perempuan’. Pelajaran dasar penggalan kisah permainan dadu ini adalah
tentang seorang, namanya Yudhistira, yang tak mampu menghadapi kelemahan
dirinya yang paling mendasar –sekalipun ia adalah titisan Brahma, sang
maha bijaksana. Maka segala penghinaan terhadap dirinya,
saudara-saudaranya, istrinya, hilangnya seluruh harta, kehormatan dan
akhirnya mereka hidup menggelandang 12 tahun di hutan adalah harga yang
harus dibayar untuk semacam kebodohan itu.
Celakanya, Drupadi versi film pendek ini
mempertahankan cerita itu beserta pelajaran moralnya dan tak melakukan
perubahan signifikan terhadapnya, kecuali absensi terhadap para suami
tadi. Kisah selanjutnya tetap merupakan eksplorasi terhadap kebodohan
dan hawa nafsu Yudhistira dalam bermain dadu yang mengambil sebagian
besar porsi film.
Maka ‘pembelaan perempuan’ dalam Drupadi menjadi wagu.
Perspektif perempuan yang muncul dalam film ini tidak memperlihatkan
posisi perempuan yang sulit, sekaligus tak punya arah pembelaan yang
absah. Pertama, perempuan di sini menjalani impian hidup berpoliandri
bersama lima orang tampan sekaligus. Kalau pun hal ini ingin dikeluhkan,
bentuknya akan mirip-mirip saja dengan keluhan tokoh Fahri dalam Ayat-ayat Cinta yang bingung harus lebih mencintai yang mana dari pasangan yang cantik dan kaya itu.
Apakah film Drupadi memang sedang merayakan ide poliandri? Rasanya bukan ide itu karena toh
Drupadi menolak menjadi milik 100 orang Kurawa karena mereka kasar dan
angkara murka. Bukan ide poliandri semata yang dirayakan Drupadi, tapi
ide poliandri yang ideal.
Kedua, film ini menyajikan tokoh Drupadi yang bisa menjalani kehidupan ideal sebagai buah dari sikap tidak fair tanpa ingin disalahkan secara moral. Ia tak fair
dengan menghalangi kesempatan Karna karena Karna miskin, tapi narator
film ini sama sekali tak memberi komentar. Bandingkan dengan komentar
berkali-kali terhadap kecurangan Sengkuni (yang tak disajikan buktinya
di layar).
Bahkan ketika Karna membalas sakit hatinya atas
sikap diskrminatif Drupadi (sebuah sakit hati yang rasanya wajar) itu
dengan kata-kata, film ini tetap memperlihatkan Karna sebagai tokoh
jahat. Sedangkan Bima yang merobek mulut Sengkuni dan Drupadi yang
mencuci rambutnya dengan darah Dursasana, tetap menjadi pahlawan setelah
membalaskan sakit hati yang mirip dengan sakit hati Karna. Sebuah
pameran besar-besaran untuk sikap standar ganda. Memang standar ganda
ini sudah sejak awal ada dalam Mahabharata, tapi apakah ini yang memang sedang ingin digambarkan oleh film pendek Drupadi ini?
Ketiga, meletakkan persoalan perempuan
(perlakuan kasar terhadap perempuan) sebagai persoalan terpisah dari
persoalan kemanusiaan (perbudakan) yang lebih luas. Tentu saja sebagai
perempuan, Drupai mendapat perlakuan kasar dan semena-mena, dan siapa
mau diperlakukan seperti itu? Namun, Drupadi tak pernah mempertanyakan
perilaku suaminya secara umum. Ia hanya mempersoalkan perilaku suaminya
yang berdampak padanya. Ingat protesnya kepada tiga tetua, Destarata,
Bisma dan Dorna, yang hadir di balairung pada saat perjudian, “kenapa
orang yang sudah tak bebas boleh mempertaruhkan orang bebas?”
Protes ini hanya tertuju pada tindakan
Yudhistira yang berimplikasi padanya, bukan pada tindakan Yudhistira
secara keseluruhan. Ia mengeluh karena nasib buruk menimpa padanya,
bukan sedang mempersoalkan hilangnya kehormatan suami-suaminya. Ia
mengeluh, bukan melawan. Lagi-lagi: inikah yang memang ingin dinyatakan
oleh film Drupadi?
Kesetiaan tak perlu terhadap cerita asli penggalan kisah Mahabharata
ini sebenarnya sama sekali bukan persoalan ketika tak diaku sebagai
alat pembela perjuangan perempuan. Namun para pembuat film ini seakan
tak waspada terhadap berbagai pesan moral lain yang turut terbaca
bersama plot film ini. Kematangan dalam mengadaptasi naskah besar ini
tampaknya memang absen. Kritkus film Leila S. Chudori yang menulis
naskahnya masih berkutat dengan menceritakan ulang kisah aslinya dan tak
berani menafsir ulang untuk membawa gagasannya sendiri. Padahal, apa
yang menghalanginya?
Maka sejak skenario, Drupadi sudah
bermasalah. Materi cerita yang dibawa film ini sama sekali tak cocok
sebagai materi film pendek. “Pendek” dalam film pendek Drupadi ini hanya berarti durasi dan sama sekali bukan sebuah format tersendiri, lantaran seluruh gagasan Mahabharata
coba dipadatkan oleh film ini. Lantas, “ajaran moral” yang dibawa kisah
ini tidak digeser. Lihat misalnya pada karakterisasi Kurawa dan Pandawa
yang menegaskan pendekatan yang dipenuhi stereotype yang memang dibutuhkan dalam epik sekaligus kitab suci seperti Mahabharata yang mengajarkan moral dasar kebaikan dan kejahatan, tapi terasa ganjil untuk mengomentari keadaan kontemporer.
Film ini tak keberatan sama sekali dengan segala stereotype dan nyaman sekali menempatkan poetic justice
sebagai nilai yang diusungnya. Riri Riza masih menempatkan moralitas
hitam putih yang biasanya digunakan untuk cerita anak-anak (yang bahkan
oleh penulis macam Maurice Sendak atau Dr. Seuss saja sudah tak
dipakai). Perhatikan bahwa para tokoh Pandawa itu begitu tampan dengan
tutur kata terjaga dan bahasa tubuh minimum dan terkendali, sementara
tokoh Kurawa dicirikan dengan buruk rupa (dengan segenap maaf kepada Mas
Whani Darmawan dan Mas Djarot dan kawan-kawan), tertawa-tawa dan
berteriak serta menari dengan gerakan lebar dan ekspresif.
Mau tak mau, karakterisasi macam ini akhirnya terbandingkan dengan adaptasi tokoh Rahwana menjadi Ludiro pada Opera Jawa-nya
Garin Nugroho. Rahwana yang dalam epik Ramayana adalah tokoh super
jahat berkepala sepuluh dan mencungkil sisa makanan dengan keris pusaka,
dalam adaptasi itu berubah menjadi Ludiro, sesosok manusia yang lemah
dan sambil menangis ingin kembali ke rahim sang ibu ketika kain merah
lambang kejayaannya dikoyak-koyak oleh Rama/Seta. Mau tak mau –dengan
sangat menyesal– memandang karakterisasi Drupadi dan Opera Jawa
akhirnya terpampang juga perbandingan antara sebuah proses adaptasi
yang tak memahami esensi dengan adaptasi yang dewasa dan penuh
perhitungan.
Stereotype yang hadir dalam Drupadi ini memang cocok sebagai adonan pembuat poetic justice di ujung cerita. Padahal poetic justice, seperti kata penulis Orhan Pamuk, berpeluang besar membuat buruk sebuah cerita. Bahkan, kata Orhan sambil bercanda, poetic justice
membuat ia diserang sekelompok anjing yang mungkin pernah membaca
bukunya dan dendam karena karakterisasi mereka di bukunya itu. Poetic justice
bukan cuma berakibat buruk terhadap narasi, mungkin bahkan terhadap
hidup kita, kata Pamuk lagi. Ia hanya baik bagi sebuah ajaran moral
dasar yang tak memberi dimensi persoalan. Maaf untuk mengulang-ulang
pertanyaan ini: apakah ini yang memang sedang dipromosikan oleh Drupadi?
Pertanyaan berulang-ulang soal “niat” Drupadi
harus terjadi, lantaran saratnya film ini sebagai sebuah film dengan
tiga dimensi pernyataan. Pertama, ia adalah penyataan politik pembelaan
terhadap perempuan. Kedua, film ini bisa dibilang sebuah sikap estetik
dari pembuatnya, termasuk sutradara Riri Riza, yang tampak ingin
mengeksplorasi bentuk yang belum pernah ia tangani sebelumnya dengan
risiko karya ini akan dibandingkan dengan karya Garin Nugroho, Opera Jawa, yang sama-sama menggunakan unsur tari dan lagu Jawa yang masif sepanjang film.
Ketiga, dengan format film pendek yang tak punya jalur distribusi di Indonesia, Drupadi
tampak menyasar festival internasional dan berniat menjadi “lokomotif
bagi industri kreatif” terutama jadi etalase bagi musik hibrida milik
Djaduk Ferianto dan rancangan busana Chitra Subiyakto. Film ini terlihat
seperti ingin menjadi “duta besar” tak resmi bagi karya adiluhung yang
dimuat dalam sinema Indonesia karena tak ada hitung-hitungan komersial
apapun yang masuk akal yang bisa menjelaskan bagaimana ongkos produksi
yang besar itu bakal bisa balik modal.
Niatan sinematik dan nonsinematik itu terbaca
jelas dan akhirnya membentuk penilaian terhadap film ini secara
keseluruhan. Pernyataan politik pembelaan perempuan yang dibawa Drupadi,
alih-alih tepat sasaran, malahan memperlihatkan sebuah sikap
ketidakmatangan dalam berkarya dan luputnya kemampuan menangkap esensi
sebuah karya besar.
Adakah sikap estetik yang pantas dipajang oleh Drupadi? Sayang sekali bahwa Opera Jawa sudah menetapkan semacam benchmark yang bagi saya pribadi bahkan berpeluang memberi sumbangan bagi sejarah sinema dunia. Maka melihat Drupadi
dengan estetika semacam ini seakan seperti melihat pengikut Garin
Nugroho yang berhasil mendapat dana produksi lebih besar tapi gagal
mengikuti ajaran paling esensial dari sang guru.
Semangat untuk mengeksplorasi bentuk sinema dan bermain-main mencari cara ucap yang genuine pada Opera Jawa berubah jadi seni menata etalase pada Drupadi.
Segala keindahan yang ditampilkan dalam film ini seperti sebuah
pajangan indah berkilauan tapi tak punya daya tarik asali. Terlihat
sekali bahwa sang pengarah film ini tak punya gambaran film ini
seharusnya dibuat seperti apa.
Hal itu juga tampak sekali pada departemen
akting yang tercerai berai. Ada akting yang mendekati gaya wayang orang
dari Dwi Sasono, ada gaya Dian Sastro yang tetap terkesan sebagai anak
urban, ada yang kebingungan harus bergaya apa seperti Ario Bayu, ada
akting yang sangat terukur dari Whani Darmawan, dan ada pengulangan
akting gaya monolog dengan wajah yang dirancang untuk dapat close-up
dari Butet Kertaredjasa. Seni peran yang berjalan ke arah
berlain-lainan ini adalah buah dari ketidakmengertian sutradara dari apa
esensi film ini.
Jika ada keberhasilan, maka sebagai etalase,
film ini berhasil dengan baik mengantar pameran busana Chitra Subiyakto.
Rancangan busana adiluhung Chitra, terutama yang dipakai oleh Dian,
memang menjadi sebuah pameran tersendiri. Komposisi gambar dan detil
tata artistik sangat menarik, tapi rasanya framing film ini secara keseluruhan lebih mirip dengan framing untuk TV ketimbang layar lebar, terutama dengan penekanan pada syut middle to close yang tak berisiko.
Maka pertanyaan besar buat Riri Riza dan Mira
Lesmana: mengapa membuat film seperti ini? Percayakah mereka pada subjek
film mereka ini? Sayang sekali bahwa pertanyaan-pertanyaan macam ini
harus diajukan kepada Riri dan Mira, pasangan yang telah menghasilkan Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta?, Eliana-Eliana, dan tentu saja, Laskar Pelangi.***
Minggu, 11 November 2012
Interaksi Humanis
Susahnya adalah, tidak sinkron antara sumber, penerima & penyebar
kabar.
Dramatisasi yg entah disengaja atau tidak, kadang jd mispersepsi
Kondisi awal yg idealnya sebuah simbiosis mutualisme jd tergiring ke proses mind setting publik yg tdk sesuai lg dg tujuan. Menyimpang
Bumbu-bumbu yg tak perlu, yg justru mengubah rasa aslinya lah, yg pada akhirnya menimbulkan sebuah realita yg tdk nyata.
Sayang sekali
Memang, kepercayaan itu mahal sekali.
Seperti halnya saling menghormati & menghargai diatas kepentingan pribadi, demi keuntungan pribadi
Tanpa kesadaran & kejujuran, maka selamanya proses interaksi humanis hanya akan jd ajang bisnis.
Tanpa hati, tanpa rasa, hanya angka-angka
Dramatisasi yg entah disengaja atau tidak, kadang jd mispersepsi
Kondisi awal yg idealnya sebuah simbiosis mutualisme jd tergiring ke proses mind setting publik yg tdk sesuai lg dg tujuan. Menyimpang
Bumbu-bumbu yg tak perlu, yg justru mengubah rasa aslinya lah, yg pada akhirnya menimbulkan sebuah realita yg tdk nyata.
Sayang sekali
Memang, kepercayaan itu mahal sekali.
Seperti halnya saling menghormati & menghargai diatas kepentingan pribadi, demi keuntungan pribadi
Tanpa kesadaran & kejujuran, maka selamanya proses interaksi humanis hanya akan jd ajang bisnis.
Tanpa hati, tanpa rasa, hanya angka-angka
Think!!!
Kesadaran sebelum bersikap itu penting.
Memaksakan bukan cara.
Karena tidak semua yang dimau bisa didapatkan.
Tidak bisa menerima "diam" sebagai pernyataan "tidak",
tapi kecewa saat kata "tidak" terpaksa dinyatakan
Manusia cuma manusia.
Dalam berbagai kemasannya, jauh dari kesempurnaan.
Tidak perlu memaksakan, buat apa diperdebatkan.
Selama masing2 sampai tujuan, biarkan jalannya beda.
Tuhan tidak memaksakan hambanya untuk selalu seiring.
Untuk itulah hati & pikiran ada.
Akhir hanyalah awal dari akhir yang berikutnya.
Menikmatinya adalah proses,
bagaimana mengisi setiap waktu yang berlalu.
Tanpa penyesalan
Memaksakan bukan cara.
Karena tidak semua yang dimau bisa didapatkan.
Tidak bisa menerima "diam" sebagai pernyataan "tidak",
tapi kecewa saat kata "tidak" terpaksa dinyatakan
Manusia cuma manusia.
Dalam berbagai kemasannya, jauh dari kesempurnaan.
Tidak perlu memaksakan, buat apa diperdebatkan.
Selama masing2 sampai tujuan, biarkan jalannya beda.
Tuhan tidak memaksakan hambanya untuk selalu seiring.
Untuk itulah hati & pikiran ada.
Akhir hanyalah awal dari akhir yang berikutnya.
Menikmatinya adalah proses,
bagaimana mengisi setiap waktu yang berlalu.
Tanpa penyesalan
Kamis, 08 November 2012
Penting ngak Penting, Asal jangan Sinting!!!
Visi tanpa tindakan adalah lamunan.
Tindakan tanpa visi adalah mimpi
buruk.
Lebih baik jadi orang ngerti daripada jadi orang pintar, karna orang pintar belum tentu mengerti tpi orang ngerti pasti pintar..
Bila anda berani bermimpi tentang sukses brarti anda sudah memegang kunci kesuksesan hanya tinggal berusaha mencari lubangnya kuncinya untuk membuka gerbang kesuksesan
tuhan mungkin tidak pernah mengabulkan doa kita,tapi tuhan memberi kita pentunjuk dan jalan untuk mendapatkanya
Orang BODOH tidak tahu rasanya jadi pintar karena tidak pernah pintar. Orang pintar tahu rasanya jadi BODOH karena pernah BODOH
Sahabat adalah saudara yang bisa kita pilih
Hidup adalah kepastian jika kita terlalu sering mengambil keputusan yang tidak pasti berarti kita belum hidup seutuhnya
mengangkat kepala tegak adalah penawar ke gagalan paling mujarap
Ibu engkau orang yang paling ikhlas. Engkau telah mengandung ku selama sembilan bulan sepuluh hari. Engkau rela memberi air susu mu untuk ku. Siang malam engkau menjaga ku tanpa mengenal lelah. Pantaslah kirannya Allah memberi pahala untuknya. Karena engkau aku tak akan melupakannya.
Jangan mengabaikan (membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barangsiapa mengabaikan orang tuanya maka dia kafir. (HR. Muslim
"Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke! " Soekarno-1945
2 kunci berjalan dalam hidup,belajar dengan orang yang sukses dan belajar dengan orang yang gagal dalam hidup dan bisnisnya
Sebuah lidah tajam kadang-kadang memotong tenggorokannya sendiri.
Tindakan tanpa visi adalah mimpi
buruk.
Lebih baik jadi orang ngerti daripada jadi orang pintar, karna orang pintar belum tentu mengerti tpi orang ngerti pasti pintar..
Bila anda berani bermimpi tentang sukses brarti anda sudah memegang kunci kesuksesan hanya tinggal berusaha mencari lubangnya kuncinya untuk membuka gerbang kesuksesan
tuhan mungkin tidak pernah mengabulkan doa kita,tapi tuhan memberi kita pentunjuk dan jalan untuk mendapatkanya
Orang BODOH tidak tahu rasanya jadi pintar karena tidak pernah pintar. Orang pintar tahu rasanya jadi BODOH karena pernah BODOH
Sahabat adalah saudara yang bisa kita pilih
Hidup adalah kepastian jika kita terlalu sering mengambil keputusan yang tidak pasti berarti kita belum hidup seutuhnya
mengangkat kepala tegak adalah penawar ke gagalan paling mujarap
Ibu engkau orang yang paling ikhlas. Engkau telah mengandung ku selama sembilan bulan sepuluh hari. Engkau rela memberi air susu mu untuk ku. Siang malam engkau menjaga ku tanpa mengenal lelah. Pantaslah kirannya Allah memberi pahala untuknya. Karena engkau aku tak akan melupakannya.
Jangan mengabaikan (membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barangsiapa mengabaikan orang tuanya maka dia kafir. (HR. Muslim
"Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke! " Soekarno-1945
2 kunci berjalan dalam hidup,belajar dengan orang yang sukses dan belajar dengan orang yang gagal dalam hidup dan bisnisnya
Sebuah lidah tajam kadang-kadang memotong tenggorokannya sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)