Rabu, 14 November 2012

Rectoverso: The Film

Aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu aku gapai sebatas punggungnya saja.
Seseorang yang aku sanggup menikmati bayangannya dan tidak akan pernah bisa aku miliki,
seseorang yang hadir bagai bintang jatuh,
sekelebat kemudian menghilang,
sebelum tangan ini sanggup mengejar,

seseorang yang hanya bisa aku kirimi isyarat,
sehalus udara, langit awan atau hujan.

(Cukilan dialog dari film “Hanya Isyarat”, bagian dari omnibus film “Rectoverso”)
 






















 

Cerita-cerita di film Rectoverso

1. Malaikat Juga Tahu
Sutradara: Marcella Zalianty
Penulis: Ve Handojo
Sinopsis:
Abang adalah seorang anak penderita autisme yang hidup bersama ibunya (Bunda) dan anak-anak kos di rumah mereka. Salah seorang anak kos itu adalah Leia. Leia adalah satu-satunya penghuni kos yang menaruh perhatian lebih terhadap Abang dan bisa berteman dengannya. Tanpa Leia sadari, Abang jatuh cinta padanya.
Hal ini meresahkan Bunda yang tahu bahwa cinta tidak mungkin terjalin antara Abang dengan Leia.
Firasat Bunda ini semakin diteguhkan ketika Han, adik Abang, pulang ke rumah setelah menyelesaikan studinya di luar negeri. Han segera akrab dengan Leia. Cinta yang terjalin di antara Han dan Leia membuat Abang terluka.
——————————————————————————————

2. Firasat
Sutradara: Rachel Maryam
Penulis: Indra Herlambang
Sinopsis:
Senja bergabung dengan Klub Firasat, di mana setiap minggu para anggotanya berkumpul untuk berbagi cerita tentang berbagai pertanda. Senja bergabung ke dalam klub itu karena Ia selalu mendapat firasat setiap kali Ia akan ditinggal oleh orang terdekatnya. Ini terjadi sebelum Ayah dan adiknya meninggal dunia dalam kecelakaan.
Alasan lain adalah ketua Klub Firasat yang bernama Panca. Seorang lelaki karismatik yang ketajaman intuisi dan pengalamannya mendalami firasat begitu mengagumkan. Senja jatuh cinta pada Panca.
Hingga suatu saat Senja mendapat firasat buruk. Ia akan sekali lagi mengalami kehilangan. Bagaimana Senja mengatasi hal ini? Apakah kali ini firasatnya akan membantu Senja menghindari kesedihannya?
——————————————————————————————

3. Curhat Buat Sahabat
Sutradara: Olga Lydia
Penulis: Ilya Sigma dan Priesnanda Dwi Satria
Sinopsis:
Meskipun berbeda sifat, Amanda yang supel dan ceria mampu menjalin persahabatan dengan Reggie yang sabar, kalem, dan siap mendengarkan curhat Amanda. Kapanpun Amanda butuh, Reggie selalu hadir.
Suatu saat, Amanda jatuh sakit. Ia sadar bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa Ia mintai tolong, bahkan pacarnya. Hanya Reggie yang bisa menolongnya.
Pertolongan Reggie membuat Amanda menyadari bahwa yang ia butuhkan selama ini hanyalah orang yang menyayanginya apa adanya dan orang tersebut adalah Reggie. Namun di sisi lain, diam-diam Reggie mulai menyadari bahwa cinta ini sudah terlalu tua untuk dirinya.
——————————————————————————————

4. Hanya Isyarat
Sutradara: Happy Salma
Penulis: Key Mangunsong
Sinopsis:
Lima orang backpackers bertemu lewat forum milis. Meskipun baru beberapa hari bertemu, Tano, Dali, Bayu dan Raga tampak sudah akrab bagaikan sahabat lama, amat kontras dengan Al yang selalu menyendiri dan menjaga jarak.
Diam-diam, Al jatuh cinta pada Raga, sosok yang selama beberapa hari ini hanya mampu dikaguminya dari kejauhan, dari siluet punggungnya saja.
Di suatu malam, kelima orang ini mengadakan permainan kecil, yaitu berlomba menceritakan kisah paling sedih yang mereka punya. Saat Raga menceritakan kisahnya, Al semakin terpukul. Meskipun Al keluar sebagai pemenang, namun Al semakin terseret pada daya tarik Raga, lelaki yang mungkin tak akan pernah ia miliki selamanya karena sebuah rahasia besar dalam diri Raga.
——————————————————————————————

5. Cicak di Dinding
Sutradara: Cathy Sharon
Penulis: Ve Handojo
Sinopsis:
Di suatu malam, Bram, seorang pelukis muda yang masih lugu, bertemu dengan Saras, seorang wanita penghibur yang jauh lebih tua dan lebih “berpengalaman”.
Saras memberikan malam yang sangat berkesan saat itu. Tanpa direncanakan, mereka bertemu lagi. Kali ini mereka berusaha membangun pertemanan, meskipun akhirnya Bram tak kuasa untuk jatuh cinta pada Saras. Saras memutuskan untuk pergi, menghilang dari hidup Bram, dan meminta Bram untuk tidak mencarinya. Bram berusaha mencari Saras, namun gagal. Akhirnya, Bram tenggelam dalam kesibukannya sebagai seorang pelukis muda.
Enam tahun kemudian, Bram bertemu lagi dengan Saras di malam pembukaan pameran tunggal perdananya. Namun kali ini Saras membawa kejutan yang akan menentukan masa depan dan kebahagiaan mereka berdua.

Perempuan-Perempuan di Balik “Rectoverso”

“Rectoverso” berawal dari sebuah perkawinan antara karya sastra dan musik indah dari hasil karya seorang Dewi ‘Dee’ Lestari di tahun 2008. Sebuah perpaduan antara membaca dan mendengar yang belum pernah ada di dunia sastra Indonesia, “Rectoverso” menggebrak dan menarik perhatian pecinta sastra dan musik di 
penjuru Tanah Air.





Tahun demi tahun berlalu, greget “Rectoverso” masih terdengar nyaring, meskipun Dee telah menelurkan beberapa karya lainnya yang makin mengukuhkan posisinya sebagai penulis ternama di negeri ini.

Namun “Rectoverso” meninggalkan kesan yang mendalam terhadap Marcella Zalianty, pemenang Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik (Brownies). 

Tertantang untuk melanjutkan kiprahnya sebagai produser setelah sukses dalam film Batas yang menuai banyak pujian, maka Marcella pun bertekad membawa “Rectoverso” ke layar lebar.




Tak puas hanya menjadi produser, kali ini Marcella juga bertindak sebagai sutradara. Namun tak hanya seorang diri, ia pun membawa sederet artis papan atas Indonesia untuk pertama kalinya turut menyutradarai proyek film layar lebar ini. Mengangkat lima cerita dari buku “Rectoverso”, maka film ini pun akan menghadirkan lima sutradara perempuan yang akan memberikan sentuhan khas masing-masing di setiap cerita.

Nama Cathy Sharon mencuat saat dia menjadi pembawa acara di sebuah saluran musik internasional. Sejalan dengan karirnya di dunia akting, Cathy pun makin dikenal atas aktingnya yang makin matang.





Sebagai pembawa acara kenamaan, Olga Lydia telah dikenal masyarakat luas. Namun yang tak banyak orang ketahui adalah kecintaan Olga terhadap karya sastra Indonesia. Beberapa kali menjadi co-produser maupun eksekutif produser film panjang dan film pendek Indonesia, kali ini Olga menjajal intuisinya sebagai seniman untuk mengarahkan salah satu cerita dalam “Rectoverso”.



Kehadiran Happy Salma di setiap karya yang melibatkan dirinya membuat kita tak bisa berpaling. Peraih Piala Citra sebagai Pemeran Pembantu Wanita Terbaik di film 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita ini semakin memperkuat profil dirinya sebagai seniman serba bisa, tak terkecuali keterlibatannya sebagai sutradara di film “Rectoverso” ini.



Sebagai aktris, Rachel Maryam menuai banyak pujian di film berkelas seperti Eliana, Eliana, dan Arisan! yang memberinya Piala Citra sebagai Pemeran Pembantu Wanita Terbaik. Meskipun saat ini nama Rachel lebih dikenal sebagai wakil rakyat, kecintaannya terhadap dunia seni peran yang membesarkan namanya pun masih membuatnya turut terlibat dalam “Rectoverso”.

RECTOVERSO Film Project

Diadaptasi dari kumpulan cerita pendek “Rectoverso” karya Dee (Dewi Lestari). 

Sebuah novel yang pertama kali dengan baik menggabungkan dua unsur seni kreatif; narasi fiksi dan lagu. “Sebelas fiksi untuk didengar dan sebelas lagu untuk dibaca” demikian Dee mengajak pembacanya.
 
Untuk pertama kalinya, lima sutradara perempuan - Marcella Zalianty, Happy Salma, Rachel Maryam, Olga Lydia dan Cathy Sharon- akan menceritakan lima dari sebelas cerita pendek RECTOVERSO ke dalam media film layar lebar. 

Melalui treatment dari sudut pandang perempuan terhadap kehidupan dan cinta, masing-masing cerita akan menjadi sebuah karya audio visual yang unik dan khas.

Selasa, 13 November 2012

W. R. Supratman

 
Wage Rudolf Supratman (9 Maret[1] 1903, Jatinegara, Jakarta - 17 Agustus 1938, Surabaya) adalah pengarang lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya". Ayahnya bernama Senen, sersan di Batalyon VIII. Saudara Soepratman berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan. Salah satunya bernama Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.



Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama 3 tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.

Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Ujungpandang, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.

Soepratman dipindahkan ke kota Singkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem, sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik

W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak mempunyai anak angkat.

Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.

Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.

Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan kodisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.

Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan.

Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM jalan Embong Malang - Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok-Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.

Naskah asli lagu Indonesia Raya
Hari kelahiran Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati saat menjadi presiden RI, diresmikan sebagai Hari Musik Nasional. Namun tanggal kelahiran ini sebenarnya masih diperdebatkan, karena ada pendapat yang menyatakan Soepratman dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pendapat ini – selain didukung keluarga Soepratman – dikuatkan keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.

Biografi Abu Nawas



Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Abu Nawas merupakan seorang pujangga Arab dan dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman.
 

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benarpenuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.

Biografi Soe Hok Gie ( 1942-1969)





Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.

Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.




Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”




8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.



24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda“ Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.
 
John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.
Kata Kata Soe Hok Gie
  • Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
  • Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
  • Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
  • Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
  • Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
  • Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
  • Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
  • Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
  • Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
  • Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…
  • Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
  • Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
  • Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
  • To be a human is to be destroyed.
  • Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
  • Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
  • I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.
  • Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
  • Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
  • Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.
  • Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
 
 

Sinopsis Film BATAS (2011)

Drupadi: Ada Apa Dengan Drupadi?

Perempuan super cantik titisan Dewi Api ini adalah istri dari 5 orang Pandawa, tokoh protagonis dalam kisah Mahabharata. Dalam versi India penggalan kisah Mahabharata, Ibunda Pandawa, Dewi Kunti, bersabda bahwa apa pun yang dimiliki oleh salah seorang dari Pandawa menjadi milik mereka berlima, termasuk istri. (Dalam versi Jawa –karena pengaruh Islam– Drupadi menjadi monogamis dan bersuami hanya Yudhistira seorang). Karena kelima Pandawa itu adalah anak-anak yang patuh pada ibu mereka, maka Drupadi harus dibagi di antara anak raja yang tampan dan gagah itu. 


Kisahnya berawal ketika Drupadi dijadikan objek sayembara oleh ayahnya, Drupada. Dalam lomba ketangkasan memanah, nyaris saja ia dipersunting oleh Karna, seorang lelaki gagah anak sais kereta. Namun Drupadi, sang putri raja, tak rela beristri orang dari kelas bawah, sekalipun sebenarnya Karna yang tampan itu adalah anak Dewi Kunti yang lain yang disembunyikan lantaran merupakan hasil dari hubungan gelap. Drupadi yang tak mau menjadi istri orang miskin ini, menghalangi Karna meneruskan lomba panah. Kemudian majulah Arjuna yang berhasil memenangkan perlombaan. Jadilah Drupadi harus bersuami 5 laki-laki tampan Putra Pandu itu. 

Sampai sini, maka ”malang” mungkin bukan kata sifat yang tepat untuk menggambarkan nasib Drupadi. Ia hidup berpoliandri bersama lima lekaki tampan dan kaya. Kelima suaminya rela berbagi dan punya pengertian luar biasa terhadapnya. Ia boleh pilih kasih tanpa menyinggung perasaan suaminya yang lain. Sebuah dunia poliandri ideal yang bahkan lebih idyllic ketimbang dunia bigini Ayat-ayat Cinta. Apakah film Drupadi ini sedang mengajukan sebuah perayaan terhadap poliandri sekaligus meledek gagasan poligini?
Lantas, sedihkah Drupadi menjadi objek (mungkin tepatnya subjek) poliandri? Ia tak melonjak-lonjak kegirangan sekalipun kelima suaminya yang tampan itu ia absen satu demi satu sambil menyebutkan kelebihan-kelebihan mereka. Bahkan ia tak punya dilema internal semisal Fahri dalam Ayat-ayat Cinta. Inikah ide pembelaan perempuan yang dinyatakan oleh Dian Sastro – produser sekaligus pemeran Drupadi – agar “jangan sampai perempuan mengalami seperti ini” yang ia nyatakan dalam behind the scene film ini? Tentu imbauan semacam ini tak akan laku karena perempuan mana yang tak ingin menjadi suami dari lelaki macam Dwi Sasono, Ario Bayu, dan Nicolas Saputra sekaligus dengan bonus dua orang kembar tampan Aditya Bagus Sambada dan Aditya Bagus Santosa? 

Yang dimaksudkan oleh Dian Sastro agar “jangan sampai perempuan mengalami hal seperti ini” adalah menjadi seperti barang yang dipertaruhkan di permainan dadu. Tunggu sebentar. Bukankah Pandawa lainnya juga dipertaruhkan dalam permainan dadu itu? Jadi, nasib Drupadi sebagai perempuan dalam soal jadi taruhan permainan dadu tak istimewa. Lagipula, jangan lupa bahwa Drupadi juga sempat menjadi semacam objek pertaruhan dalam sayembara mencari calon suami yang diselenggarakan ayahnya. Maka menjadi objek taruhan bukan hal yang istimewa bagi perempuan Drupadi ini.
Yang istimewa bagi perempuan bernama Drupadi adalah bahwa ia kemudian diseret dari tempat nyamannya, dijambak rambutnya hingga sanggulnya terlepas, dan kemudian dibawa ke balairung tempat judi itu berlangsung dan akan ditelanjangi ketika orang yang mempertaruhkannya kalah. Kemarahan Drupadi bukanlah karena ia “menjadi komoditas” seperti yang dikatakan oleh Dian Sastro, melainkan karena perlakuan kasar yang menimpanya. Ia protes terhadap perlakuan kasar itu, bukan pada suaminya yang sudah berbuat bodoh. 

Bisa jadi memang ada semacam pijakan bagi kemarahan Drupadi terhadap kekasaran yang menimpanya ini, tetapi moral dasar yang sedang diajarkan oleh penggalan kisah Mahabharata itu bukanlah tentang ‘menjadi komoditi’ atau ‘perlakuan kasar terhadap perempuan’. Pelajaran dasar penggalan kisah permainan dadu ini adalah tentang seorang, namanya Yudhistira, yang tak mampu menghadapi kelemahan dirinya yang paling mendasar –sekalipun ia adalah titisan Brahma, sang maha bijaksana. Maka segala penghinaan terhadap dirinya, saudara-saudaranya, istrinya, hilangnya seluruh harta, kehormatan dan akhirnya mereka hidup menggelandang 12 tahun di hutan adalah harga yang harus dibayar untuk semacam kebodohan itu. 

Celakanya, Drupadi versi film pendek ini mempertahankan cerita itu beserta pelajaran moralnya dan tak melakukan perubahan signifikan terhadapnya, kecuali absensi terhadap para suami tadi. Kisah selanjutnya tetap merupakan eksplorasi terhadap kebodohan dan hawa nafsu Yudhistira dalam bermain dadu yang mengambil sebagian besar porsi film. 

Maka ‘pembelaan perempuan’ dalam Drupadi menjadi wagu. Perspektif perempuan yang muncul dalam film ini tidak memperlihatkan posisi perempuan yang sulit, sekaligus tak punya arah pembelaan yang absah. Pertama, perempuan di sini menjalani impian hidup berpoliandri bersama lima orang tampan sekaligus. Kalau pun hal ini ingin dikeluhkan, bentuknya akan mirip-mirip saja dengan keluhan tokoh Fahri dalam Ayat-ayat Cinta yang bingung harus lebih mencintai yang mana dari pasangan yang cantik dan kaya itu.
Apakah film Drupadi memang sedang merayakan ide poliandri? Rasanya bukan ide itu karena toh Drupadi menolak menjadi milik 100 orang Kurawa karena mereka kasar dan angkara murka. Bukan ide poliandri semata yang dirayakan Drupadi, tapi ide poliandri yang ideal

Kedua, film ini menyajikan tokoh Drupadi yang bisa menjalani kehidupan ideal sebagai buah dari sikap tidak fair tanpa ingin disalahkan secara moral. Ia tak fair dengan menghalangi kesempatan Karna karena Karna miskin, tapi narator film ini sama sekali tak memberi komentar. Bandingkan dengan komentar berkali-kali terhadap kecurangan Sengkuni (yang tak disajikan buktinya di layar). 

Bahkan ketika Karna membalas sakit hatinya atas sikap diskrminatif Drupadi (sebuah sakit hati yang rasanya wajar) itu dengan kata-kata, film ini tetap memperlihatkan Karna sebagai tokoh jahat. Sedangkan Bima yang merobek mulut Sengkuni dan Drupadi yang mencuci rambutnya dengan darah Dursasana, tetap menjadi pahlawan setelah membalaskan sakit hati yang mirip dengan sakit hati Karna. Sebuah pameran besar-besaran untuk sikap standar ganda. Memang standar ganda ini sudah sejak awal ada dalam Mahabharata, tapi apakah ini yang memang sedang ingin digambarkan oleh film pendek Drupadi ini? 

Ketiga, meletakkan persoalan perempuan (perlakuan kasar terhadap perempuan) sebagai persoalan terpisah dari persoalan kemanusiaan (perbudakan) yang lebih luas. Tentu saja sebagai perempuan, Drupai mendapat perlakuan kasar dan semena-mena, dan siapa mau diperlakukan seperti itu? Namun, Drupadi tak pernah mempertanyakan perilaku suaminya secara umum. Ia hanya mempersoalkan perilaku suaminya yang berdampak padanya. Ingat protesnya kepada tiga tetua, Destarata, Bisma dan Dorna, yang hadir di balairung pada saat perjudian, “kenapa orang yang sudah tak bebas boleh mempertaruhkan orang bebas?”
Protes ini hanya tertuju pada tindakan Yudhistira yang berimplikasi padanya, bukan pada tindakan Yudhistira secara keseluruhan. Ia mengeluh karena nasib buruk menimpa padanya, bukan sedang mempersoalkan hilangnya kehormatan suami-suaminya. Ia mengeluh, bukan melawan. Lagi-lagi: inikah yang memang ingin dinyatakan oleh film Drupadi

Kesetiaan tak perlu terhadap cerita asli penggalan kisah Mahabharata ini sebenarnya sama sekali bukan persoalan ketika tak diaku sebagai alat pembela perjuangan perempuan. Namun para pembuat film ini seakan tak waspada terhadap berbagai pesan moral lain yang turut terbaca bersama plot film ini. Kematangan dalam mengadaptasi naskah besar ini tampaknya memang absen. Kritkus film Leila S. Chudori yang menulis naskahnya masih berkutat dengan menceritakan ulang kisah aslinya dan tak berani menafsir ulang untuk membawa gagasannya sendiri. Padahal, apa yang menghalanginya? 

Maka sejak skenario, Drupadi sudah bermasalah. Materi cerita yang dibawa film ini sama sekali tak cocok sebagai materi film pendek. “Pendek” dalam film pendek Drupadi ini hanya berarti durasi dan sama sekali bukan sebuah format tersendiri, lantaran seluruh gagasan Mahabharata coba dipadatkan oleh film ini. Lantas, “ajaran moral” yang dibawa kisah ini tidak digeser. Lihat misalnya pada karakterisasi Kurawa dan Pandawa yang menegaskan pendekatan yang dipenuhi stereotype yang memang dibutuhkan dalam epik sekaligus kitab suci seperti Mahabharata yang mengajarkan moral dasar kebaikan dan kejahatan, tapi terasa ganjil untuk mengomentari keadaan kontemporer. 

Film ini tak keberatan sama sekali dengan segala stereotype dan nyaman sekali menempatkan poetic justice sebagai nilai yang diusungnya. Riri Riza masih menempatkan moralitas hitam putih yang biasanya digunakan untuk cerita anak-anak (yang bahkan oleh penulis macam Maurice Sendak atau Dr. Seuss saja sudah tak dipakai). Perhatikan bahwa para tokoh Pandawa itu begitu tampan dengan tutur kata terjaga dan bahasa tubuh minimum dan terkendali, sementara tokoh Kurawa dicirikan dengan buruk rupa (dengan segenap maaf kepada Mas Whani Darmawan dan Mas Djarot dan kawan-kawan), tertawa-tawa dan berteriak serta menari dengan gerakan lebar dan ekspresif. 

Mau tak mau, karakterisasi macam ini akhirnya terbandingkan dengan adaptasi tokoh Rahwana menjadi Ludiro pada Opera Jawa-nya Garin Nugroho. Rahwana yang dalam epik Ramayana adalah tokoh super jahat berkepala sepuluh dan mencungkil sisa makanan dengan keris pusaka, dalam adaptasi itu berubah menjadi Ludiro, sesosok manusia yang lemah dan sambil menangis ingin kembali ke rahim sang ibu ketika kain merah lambang kejayaannya dikoyak-koyak oleh Rama/Seta. Mau tak mau –dengan sangat menyesal– memandang karakterisasi Drupadi dan Opera Jawa akhirnya terpampang juga perbandingan antara sebuah proses adaptasi yang tak memahami esensi dengan adaptasi yang dewasa dan penuh perhitungan.
Stereotype yang hadir dalam Drupadi ini memang cocok sebagai adonan pembuat poetic justice di ujung cerita. Padahal poetic justice, seperti kata penulis Orhan Pamuk, berpeluang besar membuat buruk sebuah cerita. Bahkan, kata Orhan sambil bercanda, poetic justice membuat ia diserang sekelompok anjing yang mungkin pernah membaca bukunya dan dendam karena karakterisasi mereka di bukunya itu. Poetic justice bukan cuma berakibat buruk terhadap narasi, mungkin bahkan terhadap hidup kita, kata Pamuk lagi. Ia hanya baik bagi sebuah ajaran moral dasar yang tak memberi dimensi persoalan. Maaf untuk mengulang-ulang pertanyaan ini: apakah ini yang memang sedang dipromosikan oleh Drupadi?
Pertanyaan berulang-ulang soal “niat” Drupadi harus terjadi, lantaran saratnya film ini sebagai sebuah film dengan tiga dimensi pernyataan. Pertama, ia adalah penyataan politik pembelaan terhadap perempuan. Kedua, film ini bisa dibilang sebuah sikap estetik dari pembuatnya, termasuk sutradara Riri Riza, yang tampak ingin mengeksplorasi bentuk yang belum pernah ia tangani sebelumnya dengan risiko karya ini akan dibandingkan dengan karya Garin Nugroho, Opera Jawa, yang sama-sama menggunakan unsur tari dan lagu Jawa yang masif sepanjang film.
Ketiga, dengan format film pendek yang tak punya jalur distribusi di Indonesia, Drupadi tampak menyasar festival internasional dan berniat menjadi “lokomotif bagi industri kreatif” terutama jadi etalase bagi musik hibrida milik Djaduk Ferianto dan rancangan busana Chitra Subiyakto. Film ini terlihat seperti ingin menjadi “duta besar” tak resmi bagi karya adiluhung yang dimuat dalam sinema Indonesia karena tak ada hitung-hitungan komersial apapun yang masuk akal yang bisa menjelaskan bagaimana ongkos produksi yang besar itu bakal bisa balik modal. 

Niatan sinematik dan nonsinematik itu terbaca jelas dan akhirnya membentuk penilaian terhadap film ini secara keseluruhan. Pernyataan politik pembelaan perempuan yang dibawa Drupadi, alih-alih tepat sasaran, malahan memperlihatkan sebuah sikap ketidakmatangan dalam berkarya dan luputnya kemampuan menangkap esensi sebuah karya besar. 

Adakah sikap estetik yang pantas dipajang oleh Drupadi? Sayang sekali bahwa Opera Jawa sudah menetapkan semacam benchmark yang bagi saya pribadi bahkan berpeluang memberi sumbangan bagi sejarah sinema dunia. Maka melihat Drupadi dengan estetika semacam ini seakan seperti melihat pengikut Garin Nugroho yang berhasil mendapat dana produksi lebih besar tapi gagal mengikuti ajaran paling esensial dari sang guru. 

Semangat untuk mengeksplorasi bentuk sinema dan bermain-main mencari cara ucap yang genuine pada Opera Jawa berubah jadi seni menata etalase pada Drupadi. Segala keindahan yang ditampilkan dalam film ini seperti sebuah pajangan indah berkilauan tapi tak punya daya tarik asali. Terlihat sekali bahwa sang pengarah film ini tak punya gambaran film ini seharusnya dibuat seperti apa.
Hal itu juga tampak sekali pada departemen akting yang tercerai berai. Ada akting yang mendekati gaya wayang orang dari Dwi Sasono, ada gaya Dian Sastro yang tetap terkesan sebagai anak urban, ada yang kebingungan harus bergaya apa seperti Ario Bayu, ada akting yang sangat terukur dari Whani Darmawan, dan ada pengulangan akting gaya monolog dengan wajah yang dirancang untuk dapat close-up dari Butet Kertaredjasa. Seni peran yang berjalan ke arah berlain-lainan ini adalah buah dari ketidakmengertian sutradara dari apa esensi film ini. 

Jika ada keberhasilan, maka sebagai etalase, film ini berhasil dengan baik mengantar pameran busana Chitra Subiyakto. Rancangan busana adiluhung Chitra, terutama yang dipakai oleh Dian, memang menjadi sebuah pameran tersendiri. Komposisi gambar dan detil tata artistik sangat menarik, tapi rasanya framing film ini secara keseluruhan lebih mirip dengan framing untuk TV ketimbang layar lebar, terutama dengan penekanan pada syut middle to close yang tak berisiko. 

Maka pertanyaan besar buat Riri Riza dan Mira Lesmana: mengapa membuat film seperti ini? Percayakah mereka pada subjek film mereka ini? Sayang sekali bahwa pertanyaan-pertanyaan macam ini harus diajukan kepada Riri dan Mira, pasangan yang telah menghasilkan Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta?, Eliana-Eliana, dan tentu saja, Laskar Pelangi.***

Minggu, 11 November 2012

Interaksi Humanis

Susahnya adalah, tidak sinkron antara sumber, penerima & penyebar kabar.
Dramatisasi yg entah disengaja atau tidak, kadang jd mispersepsi

Kondisi awal yg idealnya sebuah simbiosis mutualisme jd tergiring ke proses mind setting publik yg tdk sesuai lg dg tujuan. Menyimpang

Bumbu-bumbu yg tak perlu, yg justru mengubah rasa aslinya lah, yg pada akhirnya menimbulkan sebuah realita yg tdk nyata.
Sayang sekali

Memang, kepercayaan itu mahal sekali.
Seperti halnya saling menghormati & menghargai diatas kepentingan pribadi, demi keuntungan pribadi

Tanpa kesadaran & kejujuran, maka selamanya proses interaksi humanis hanya akan jd ajang bisnis.
Tanpa hati, tanpa rasa, hanya angka-angka

Think!!!

Kesadaran sebelum bersikap itu penting. 
Memaksakan bukan cara. 
Karena tidak semua yang dimau bisa didapatkan.

Tidak bisa menerima "diam" sebagai pernyataan "tidak", 
tapi kecewa saat kata "tidak" terpaksa dinyatakan 

Manusia cuma manusia. 
Dalam berbagai kemasannya, jauh dari kesempurnaan. 
Tidak perlu memaksakan, buat apa diperdebatkan. 

Selama masing2 sampai tujuan, biarkan jalannya beda.
Tuhan tidak memaksakan hambanya untuk selalu seiring.
Untuk itulah hati & pikiran ada.  

Akhir hanyalah awal dari akhir yang berikutnya.
Menikmatinya adalah proses,
bagaimana mengisi setiap waktu yang berlalu. 
Tanpa penyesalan

Kamis, 08 November 2012

Penting ngak Penting, Asal jangan Sinting!!!

Visi tanpa tindakan adalah lamunan.
Tindakan tanpa visi adalah mimpi
buruk. 

 
Lebih baik jadi orang ngerti daripada jadi orang pintar, karna orang pintar belum tentu mengerti tpi orang ngerti pasti pintar..

Bila anda berani bermimpi tentang sukses brarti anda sudah memegang kunci kesuksesan hanya tinggal berusaha mencari lubangnya kuncinya untuk membuka gerbang kesuksesan 

tuhan mungkin tidak pernah mengabulkan doa kita,tapi tuhan memberi kita pentunjuk dan jalan untuk mendapatkanya

Orang BODOH tidak tahu rasanya jadi pintar karena tidak pernah pintar. Orang pintar tahu rasanya jadi BODOH karena pernah BODOH


Sahabat adalah saudara yang bisa kita pilih



Hidup adalah kepastian jika kita terlalu sering mengambil keputusan yang tidak pasti berarti kita belum hidup seutuhnya



mengangkat kepala tegak adalah penawar ke gagalan paling mujarap



Ibu engkau orang yang paling ikhlas. Engkau telah mengandung ku selama sembilan bulan sepuluh hari. Engkau rela memberi air susu mu untuk ku. Siang malam engkau menjaga ku tanpa mengenal lelah. Pantaslah kirannya Allah memberi pahala untuknya. Karena engkau aku tak akan melupakannya.
Jangan mengabaikan (membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barangsiapa mengabaikan orang tuanya maka dia kafir. (HR. Muslim




"Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke! " Soekarno-1945



2 kunci berjalan dalam hidup,belajar dengan orang yang sukses dan belajar dengan orang yang gagal dalam hidup dan bisnisnya



Sebuah lidah tajam kadang-kadang memotong tenggorokannya sendiri.