Selasa, 30 Oktober 2012

“Ini Tulisan Serius. Sumpah”


Penulis. Apa sih penulis itu? Orang yang ahli dalam tulis menulis, lengkap dengan segala tata bahasa dan aturan baku kesusastraan yang berlaku. Mampu menyusun sebuah karya tulisan yang indah dan bisa dinikmati siapapun. Ataukah orang-orang yang sekedar bisa menulis? Hanya mengeluarkan isi pikiran lewat kata-kata dalam bentuk tulisan, menghasilkan karya dalam bentuk cerpen, novel, atau buku setebal muka para koruptor, dan lantas sudah layak disebut sebagai penulis.

Apapun terjemahan resmi dari penulis, bukan itu yang mau saya jabarkan disini. Toh saya tidak merasa sebagai penulis, atau pernah ada yang menyebut saya sebagai penulis. Jadi tidaklah cukup layak bagi saya untuk berbicara panjang kali lebar sama dengan luas tentang hal ini. Tapi sebagai manusia biasa yang punya hati, moral, dan etika. Jadi saya rasa wajar bagi saya mempertanyakan sejauh mana hal-hal tersebut berpengaruh bagi seseorang dalam proses menghasilkan sebuah tulisan. Buat sebagian orang, bahasa kerennya adalah “berkarya”. Terserah lah.

Kenapa saya mempertanyakan masalah diatas? Bukan, saya bukan mau menjadi seorang polisi moral atau perpanjangan tangan dari ormas radikal yang mengurusi para penulis yang bandel. Bodo amat kalau soal itu. Saya mempertanyakan dan sekaligus menyayangkan karena faktanya, ada saja -mungkin banyak- karya tulisan yang dibuat tanpa memperhatikan perasaan orang lain. Memang, sebuah tulisan adalah ungkapan rasa si penulis. Tapi, apa itu berarti mereka berhak mematikan rasa yang dimiliki pihak lain yang entah sengaja atau tidak, disinggung oleh mereka dalam karyanya tersebut? Mungkin berhak, kalau Tuhan adalah sang penulisnya. Tapi kalau hanya manusia? Satu kata: berkaca!

Saya rasa, tidak ada manusia normal yang mau disakiti. Dan itu yang saya lakukan selama ini. Untuk tidak disakiti orang lain, saya menghindari untuk menyakiti siapapun terlebih dahulu. Dalam bentuk apapun. Tapi rupanya, tidak semua manusia berpikiran seperti itu. Entah atas dasar apa, seenaknya mereka sendiri menilai, menyinggung, dan bahkan menjatuhkan pihak lain lewat tulisannya. Mungkin mereka akan dengan mudah beralasan: kebebasan berekspresi. Alasan klise. Dari sebuah kesalahkaprahan. Atau mungkin sebuah perwujudan egoisme tingkat mbahnya Dewa.

Sekali lagi, terserah lah. Saya tidak mungkin mengubah apapun dan siapapun melalui tulisan ini. Saya sekedar beropini belaka. Dan kalaupun buat mereka-mereka ini, kejujuran berarti mendewakan kebebasan tak berbatas, mengangkangi hak dan perasaan orang lain demi orgasme egoisme mereka pribadi. Biarkan lah demikian.


0 komentar:

Posting Komentar