Perempuan super cantik titisan Dewi Api ini adalah istri dari 5 orang Pandawa, tokoh protagonis dalam kisah Mahabharata.
Dalam versi India penggalan kisah Mahabharata, Ibunda Pandawa, Dewi
Kunti, bersabda bahwa apa pun yang dimiliki oleh salah seorang dari
Pandawa menjadi milik mereka berlima, termasuk istri. (Dalam versi Jawa
–karena pengaruh Islam– Drupadi menjadi monogamis dan bersuami hanya
Yudhistira seorang). Karena kelima Pandawa itu adalah anak-anak yang
patuh pada ibu mereka, maka Drupadi harus dibagi di antara anak raja
yang tampan dan gagah itu.

Kisahnya berawal ketika Drupadi dijadikan objek
sayembara oleh ayahnya, Drupada. Dalam lomba ketangkasan memanah, nyaris
saja ia dipersunting oleh Karna, seorang lelaki gagah anak sais kereta.
Namun Drupadi, sang putri raja, tak rela beristri orang dari kelas
bawah, sekalipun sebenarnya Karna yang tampan itu adalah anak Dewi Kunti
yang lain yang disembunyikan lantaran merupakan hasil dari hubungan
gelap. Drupadi yang tak mau menjadi istri orang miskin ini, menghalangi
Karna meneruskan lomba panah. Kemudian majulah Arjuna yang berhasil
memenangkan perlombaan. Jadilah Drupadi harus bersuami 5 laki-laki
tampan Putra Pandu itu.
Sampai sini, maka ”malang” mungkin bukan kata
sifat yang tepat untuk menggambarkan nasib Drupadi. Ia hidup
berpoliandri bersama lima lekaki tampan dan kaya. Kelima suaminya rela
berbagi dan punya pengertian luar biasa terhadapnya. Ia boleh pilih
kasih tanpa menyinggung perasaan suaminya yang lain. Sebuah dunia
poliandri ideal yang bahkan lebih idyllic ketimbang dunia bigini Ayat-ayat Cinta. Apakah film Drupadi ini sedang mengajukan sebuah perayaan terhadap poliandri sekaligus meledek gagasan poligini?
Lantas, sedihkah Drupadi menjadi objek (mungkin
tepatnya subjek) poliandri? Ia tak melonjak-lonjak kegirangan sekalipun
kelima suaminya yang tampan itu ia absen satu demi satu sambil
menyebutkan kelebihan-kelebihan mereka. Bahkan ia tak punya dilema
internal semisal Fahri dalam Ayat-ayat Cinta. Inikah ide
pembelaan perempuan yang dinyatakan oleh Dian Sastro – produser
sekaligus pemeran Drupadi – agar “jangan sampai perempuan mengalami
seperti ini” yang ia nyatakan dalam behind the scene film ini?
Tentu imbauan semacam ini tak akan laku karena perempuan mana yang tak
ingin menjadi suami dari lelaki macam Dwi Sasono, Ario Bayu, dan Nicolas
Saputra sekaligus dengan bonus dua orang kembar tampan Aditya Bagus
Sambada dan Aditya Bagus Santosa?
Yang dimaksudkan oleh Dian Sastro agar “jangan
sampai perempuan mengalami hal seperti ini” adalah menjadi seperti
barang yang dipertaruhkan di permainan dadu. Tunggu sebentar. Bukankah
Pandawa lainnya juga dipertaruhkan dalam permainan dadu itu? Jadi, nasib
Drupadi sebagai perempuan dalam soal jadi taruhan permainan dadu tak
istimewa. Lagipula, jangan lupa bahwa Drupadi juga sempat menjadi
semacam objek pertaruhan dalam sayembara mencari calon suami yang
diselenggarakan ayahnya. Maka menjadi objek taruhan bukan hal yang
istimewa bagi perempuan Drupadi ini.
Yang istimewa bagi perempuan bernama Drupadi
adalah bahwa ia kemudian diseret dari tempat nyamannya, dijambak
rambutnya hingga sanggulnya terlepas, dan kemudian dibawa ke balairung
tempat judi itu berlangsung dan akan ditelanjangi ketika orang yang
mempertaruhkannya kalah. Kemarahan Drupadi bukanlah karena ia “menjadi
komoditas” seperti yang dikatakan oleh Dian Sastro, melainkan karena
perlakuan kasar yang menimpanya. Ia protes terhadap perlakuan kasar itu,
bukan pada suaminya yang sudah berbuat bodoh.
Bisa jadi memang ada semacam pijakan bagi
kemarahan Drupadi terhadap kekasaran yang menimpanya ini, tetapi moral
dasar yang sedang diajarkan oleh penggalan kisah Mahabharata
itu bukanlah tentang ‘menjadi komoditi’ atau ‘perlakuan kasar terhadap
perempuan’. Pelajaran dasar penggalan kisah permainan dadu ini adalah
tentang seorang, namanya Yudhistira, yang tak mampu menghadapi kelemahan
dirinya yang paling mendasar –sekalipun ia adalah titisan Brahma, sang
maha bijaksana. Maka segala penghinaan terhadap dirinya,
saudara-saudaranya, istrinya, hilangnya seluruh harta, kehormatan dan
akhirnya mereka hidup menggelandang 12 tahun di hutan adalah harga yang
harus dibayar untuk semacam kebodohan itu.
Celakanya, Drupadi versi film pendek ini
mempertahankan cerita itu beserta pelajaran moralnya dan tak melakukan
perubahan signifikan terhadapnya, kecuali absensi terhadap para suami
tadi. Kisah selanjutnya tetap merupakan eksplorasi terhadap kebodohan
dan hawa nafsu Yudhistira dalam bermain dadu yang mengambil sebagian
besar porsi film.
Maka ‘pembelaan perempuan’ dalam Drupadi menjadi wagu.
Perspektif perempuan yang muncul dalam film ini tidak memperlihatkan
posisi perempuan yang sulit, sekaligus tak punya arah pembelaan yang
absah. Pertama, perempuan di sini menjalani impian hidup berpoliandri
bersama lima orang tampan sekaligus. Kalau pun hal ini ingin dikeluhkan,
bentuknya akan mirip-mirip saja dengan keluhan tokoh Fahri dalam Ayat-ayat Cinta yang bingung harus lebih mencintai yang mana dari pasangan yang cantik dan kaya itu.
Apakah film Drupadi memang sedang merayakan ide poliandri? Rasanya bukan ide itu karena toh
Drupadi menolak menjadi milik 100 orang Kurawa karena mereka kasar dan
angkara murka. Bukan ide poliandri semata yang dirayakan Drupadi, tapi
ide poliandri yang ideal.
Kedua, film ini menyajikan tokoh Drupadi yang bisa menjalani kehidupan ideal sebagai buah dari sikap tidak fair tanpa ingin disalahkan secara moral. Ia tak fair
dengan menghalangi kesempatan Karna karena Karna miskin, tapi narator
film ini sama sekali tak memberi komentar. Bandingkan dengan komentar
berkali-kali terhadap kecurangan Sengkuni (yang tak disajikan buktinya
di layar).
Bahkan ketika Karna membalas sakit hatinya atas
sikap diskrminatif Drupadi (sebuah sakit hati yang rasanya wajar) itu
dengan kata-kata, film ini tetap memperlihatkan Karna sebagai tokoh
jahat. Sedangkan Bima yang merobek mulut Sengkuni dan Drupadi yang
mencuci rambutnya dengan darah Dursasana, tetap menjadi pahlawan setelah
membalaskan sakit hati yang mirip dengan sakit hati Karna. Sebuah
pameran besar-besaran untuk sikap standar ganda. Memang standar ganda
ini sudah sejak awal ada dalam Mahabharata, tapi apakah ini yang memang sedang ingin digambarkan oleh film pendek Drupadi ini?
Ketiga, meletakkan persoalan perempuan
(perlakuan kasar terhadap perempuan) sebagai persoalan terpisah dari
persoalan kemanusiaan (perbudakan) yang lebih luas. Tentu saja sebagai
perempuan, Drupai mendapat perlakuan kasar dan semena-mena, dan siapa
mau diperlakukan seperti itu? Namun, Drupadi tak pernah mempertanyakan
perilaku suaminya secara umum. Ia hanya mempersoalkan perilaku suaminya
yang berdampak padanya. Ingat protesnya kepada tiga tetua, Destarata,
Bisma dan Dorna, yang hadir di balairung pada saat perjudian, “kenapa
orang yang sudah tak bebas boleh mempertaruhkan orang bebas?”
Protes ini hanya tertuju pada tindakan
Yudhistira yang berimplikasi padanya, bukan pada tindakan Yudhistira
secara keseluruhan. Ia mengeluh karena nasib buruk menimpa padanya,
bukan sedang mempersoalkan hilangnya kehormatan suami-suaminya. Ia
mengeluh, bukan melawan. Lagi-lagi: inikah yang memang ingin dinyatakan
oleh film Drupadi?
Kesetiaan tak perlu terhadap cerita asli penggalan kisah Mahabharata
ini sebenarnya sama sekali bukan persoalan ketika tak diaku sebagai
alat pembela perjuangan perempuan. Namun para pembuat film ini seakan
tak waspada terhadap berbagai pesan moral lain yang turut terbaca
bersama plot film ini. Kematangan dalam mengadaptasi naskah besar ini
tampaknya memang absen. Kritkus film Leila S. Chudori yang menulis
naskahnya masih berkutat dengan menceritakan ulang kisah aslinya dan tak
berani menafsir ulang untuk membawa gagasannya sendiri. Padahal, apa
yang menghalanginya?
Maka sejak skenario, Drupadi sudah
bermasalah. Materi cerita yang dibawa film ini sama sekali tak cocok
sebagai materi film pendek. “Pendek” dalam film pendek Drupadi ini hanya berarti durasi dan sama sekali bukan sebuah format tersendiri, lantaran seluruh gagasan Mahabharata
coba dipadatkan oleh film ini. Lantas, “ajaran moral” yang dibawa kisah
ini tidak digeser. Lihat misalnya pada karakterisasi Kurawa dan Pandawa
yang menegaskan pendekatan yang dipenuhi stereotype yang memang dibutuhkan dalam epik sekaligus kitab suci seperti Mahabharata yang mengajarkan moral dasar kebaikan dan kejahatan, tapi terasa ganjil untuk mengomentari keadaan kontemporer.
Film ini tak keberatan sama sekali dengan segala stereotype dan nyaman sekali menempatkan poetic justice
sebagai nilai yang diusungnya. Riri Riza masih menempatkan moralitas
hitam putih yang biasanya digunakan untuk cerita anak-anak (yang bahkan
oleh penulis macam Maurice Sendak atau Dr. Seuss saja sudah tak
dipakai). Perhatikan bahwa para tokoh Pandawa itu begitu tampan dengan
tutur kata terjaga dan bahasa tubuh minimum dan terkendali, sementara
tokoh Kurawa dicirikan dengan buruk rupa (dengan segenap maaf kepada Mas
Whani Darmawan dan Mas Djarot dan kawan-kawan), tertawa-tawa dan
berteriak serta menari dengan gerakan lebar dan ekspresif.
Mau tak mau, karakterisasi macam ini akhirnya terbandingkan dengan adaptasi tokoh Rahwana menjadi Ludiro pada Opera Jawa-nya
Garin Nugroho. Rahwana yang dalam epik Ramayana adalah tokoh super
jahat berkepala sepuluh dan mencungkil sisa makanan dengan keris pusaka,
dalam adaptasi itu berubah menjadi Ludiro, sesosok manusia yang lemah
dan sambil menangis ingin kembali ke rahim sang ibu ketika kain merah
lambang kejayaannya dikoyak-koyak oleh Rama/Seta. Mau tak mau –dengan
sangat menyesal– memandang karakterisasi Drupadi dan Opera Jawa
akhirnya terpampang juga perbandingan antara sebuah proses adaptasi
yang tak memahami esensi dengan adaptasi yang dewasa dan penuh
perhitungan.
Stereotype yang hadir dalam Drupadi ini memang cocok sebagai adonan pembuat poetic justice di ujung cerita. Padahal poetic justice, seperti kata penulis Orhan Pamuk, berpeluang besar membuat buruk sebuah cerita. Bahkan, kata Orhan sambil bercanda, poetic justice
membuat ia diserang sekelompok anjing yang mungkin pernah membaca
bukunya dan dendam karena karakterisasi mereka di bukunya itu. Poetic justice
bukan cuma berakibat buruk terhadap narasi, mungkin bahkan terhadap
hidup kita, kata Pamuk lagi. Ia hanya baik bagi sebuah ajaran moral
dasar yang tak memberi dimensi persoalan. Maaf untuk mengulang-ulang
pertanyaan ini: apakah ini yang memang sedang dipromosikan oleh Drupadi?
Pertanyaan berulang-ulang soal “niat” Drupadi
harus terjadi, lantaran saratnya film ini sebagai sebuah film dengan
tiga dimensi pernyataan. Pertama, ia adalah penyataan politik pembelaan
terhadap perempuan. Kedua, film ini bisa dibilang sebuah sikap estetik
dari pembuatnya, termasuk sutradara Riri Riza, yang tampak ingin
mengeksplorasi bentuk yang belum pernah ia tangani sebelumnya dengan
risiko karya ini akan dibandingkan dengan karya Garin Nugroho, Opera Jawa, yang sama-sama menggunakan unsur tari dan lagu Jawa yang masif sepanjang film.
Ketiga, dengan format film pendek yang tak punya jalur distribusi di Indonesia, Drupadi
tampak menyasar festival internasional dan berniat menjadi “lokomotif
bagi industri kreatif” terutama jadi etalase bagi musik hibrida milik
Djaduk Ferianto dan rancangan busana Chitra Subiyakto. Film ini terlihat
seperti ingin menjadi “duta besar” tak resmi bagi karya adiluhung yang
dimuat dalam sinema Indonesia karena tak ada hitung-hitungan komersial
apapun yang masuk akal yang bisa menjelaskan bagaimana ongkos produksi
yang besar itu bakal bisa balik modal.
Niatan sinematik dan nonsinematik itu terbaca
jelas dan akhirnya membentuk penilaian terhadap film ini secara
keseluruhan. Pernyataan politik pembelaan perempuan yang dibawa Drupadi,
alih-alih tepat sasaran, malahan memperlihatkan sebuah sikap
ketidakmatangan dalam berkarya dan luputnya kemampuan menangkap esensi
sebuah karya besar.
Adakah sikap estetik yang pantas dipajang oleh Drupadi? Sayang sekali bahwa Opera Jawa sudah menetapkan semacam benchmark yang bagi saya pribadi bahkan berpeluang memberi sumbangan bagi sejarah sinema dunia. Maka melihat Drupadi
dengan estetika semacam ini seakan seperti melihat pengikut Garin
Nugroho yang berhasil mendapat dana produksi lebih besar tapi gagal
mengikuti ajaran paling esensial dari sang guru.
Semangat untuk mengeksplorasi bentuk sinema dan bermain-main mencari cara ucap yang genuine pada Opera Jawa berubah jadi seni menata etalase pada Drupadi.
Segala keindahan yang ditampilkan dalam film ini seperti sebuah
pajangan indah berkilauan tapi tak punya daya tarik asali. Terlihat
sekali bahwa sang pengarah film ini tak punya gambaran film ini
seharusnya dibuat seperti apa.
Hal itu juga tampak sekali pada departemen
akting yang tercerai berai. Ada akting yang mendekati gaya wayang orang
dari Dwi Sasono, ada gaya Dian Sastro yang tetap terkesan sebagai anak
urban, ada yang kebingungan harus bergaya apa seperti Ario Bayu, ada
akting yang sangat terukur dari Whani Darmawan, dan ada pengulangan
akting gaya monolog dengan wajah yang dirancang untuk dapat close-up
dari Butet Kertaredjasa. Seni peran yang berjalan ke arah
berlain-lainan ini adalah buah dari ketidakmengertian sutradara dari apa
esensi film ini.
Jika ada keberhasilan, maka sebagai etalase,
film ini berhasil dengan baik mengantar pameran busana Chitra Subiyakto.
Rancangan busana adiluhung Chitra, terutama yang dipakai oleh Dian,
memang menjadi sebuah pameran tersendiri. Komposisi gambar dan detil
tata artistik sangat menarik, tapi rasanya framing film ini secara keseluruhan lebih mirip dengan framing untuk TV ketimbang layar lebar, terutama dengan penekanan pada syut middle to close yang tak berisiko.
Maka pertanyaan besar buat Riri Riza dan Mira
Lesmana: mengapa membuat film seperti ini? Percayakah mereka pada subjek
film mereka ini? Sayang sekali bahwa pertanyaan-pertanyaan macam ini
harus diajukan kepada Riri dan Mira, pasangan yang telah menghasilkan Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta?, Eliana-Eliana, dan tentu saja, Laskar Pelangi.***